Pembaca Budiman

Selasa, 22 September 2020

Tentang Syukur yang kadang terusik (latepost)

next post yang tersimpan di draft blog.
sekalinya ngeposting langsung 2 hehehe.. ini postingan semestinya februari 2016..

Assalamualaikum wr.wb..

Setelah sekian lama saya selingkuh ke blog sebelah akhirnya kembali lagi ngepost di sini.. Kadang rindu sebenarnya ingin menulis di blog ini, tapi entah kenapa rasanya godaan untuk menulis di sebelah lebih kuat hehe.. rumput sebelah memang menggiurkan yah..

Dari judulnya, mungkin bisa ditebak apa yang ingin saya tulis. Tentang syukur, syukur yang mulai terusik.

Syukur. Eits ini bukan nama orang oke? Hehe ini kata sifat yang ada dalam kamus bahasa indonesia kok..

Siapa yg sering bersyukur? Memang bagaimana yang orang sebut syukur itu? Bersyukur, kalau menurut saya itu sebuah sikap dimana meskipun hati masih ingin yang lain tetapi masih bisa meredam keinginan itu dan tidak sampai menjadi sebuah keirian. Am i right? Yah, terserah masing-masing lah mau nerjemahin apa.. toh juga gak dicatat di kamus besar kok.

Saya nulis ini dengan perasaan yang bergejolak sih sebenarnya hehe.. barusan abis baca news update tentang dua temen sekelas waktu SMA yang mau berangkat keluar negeri buat konferensi gitu di Harvard. Dan gak tau kenapa rasanya, hati ini bergejolak gak karuan.. astagfirullah..

Emm.. gimana yah bahasainnya? Bangga sih, teman sekelas yang dulu sama-sama berjuang di olimpiade sekarang bisa nembus harvard meskipin baru sebatas konferensi internasional. Tetapi rasanya ada yang mengganjal di hati. Rasa iri kah? Cemburu kah? Oh tidak. Tidak boleh lama-lama menyimpan perasaan seperti ini. Oleh karena itu saya menulis.

Rasanya seperti ingin iri. Teman-teman sedàng sibuk mengejar impian mereka. Enak yah kalau bisa seperti mereka. Sedangkan saya masih di sini, diantara kembimbangan besar harus bagaimana menanggapi impian besar yang belum juga padam. 

Saya belum cerita, dua bulan terakhir ini hidup saya banyak bolak balik rumah sakit. Yah, sebuah takdir yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ibu jatuh sakit, bahkan bukan sakit main-main sampai harus masuk ruang operasi dan membuat air mataku tak bisa tertahan hari itu. Pasca keluar rumah sakit, perawatannya juga tidak setengah-setengah. Saya bahkan harus mengurangi jam mengajar di luar atau segala macam kegiatan kampus yang bisa menyita waktu seperti dulu. Jadwal berubah total.

Saat ibu sakit, saya jadi berfikir apa artinya impian besar saya kalau tanpa ayah dan ibu yang akan bangga melihatnya langsung. Dari situlah saya belajar untuk mulai mengalah. Hanya mengalah bukan menyerah. Saya belajar tidak lagi egois tentang kuliah yang menghabiskan banyak waktu tanpa bisa mengurus orang tua di rumah. Perlahan, mungkin hati bisa mengalah tetapi lama-lama ternyata tidak semudah itu. Impian tidak bisa mati semudah itu. Impian saya masih sama besarnya..

lantas, saya akhirnya berfikir, satu hal yang harus saya syukuri adalah masih bisa melihat kedua orang tua tersenyum meskipun kadang harus mengalah. apa artinya kebanggaannku tanpa mereka? rumah tempat ayah ibuku adalah tempat terbaik dibandingkan bisa kuliah di harvard atau di MIT sekalipun. yah, meskipun impianku masih ada sih hehehe..

dan.. sepertinya akupun kini mula menemukan satria baja hitam yang bia menemani power ranger kelak. dia, Riswandi. nantilah aku ceritakan hehehe...
Februari, 2016

Tentang Keegoisan yang mulai mengalah (latepost)

sebelumnya, ini postingan lama dari oktober 2015, ketika saya masih anak gadis dan status cuma mahasiswa biasa.. baru nemu sih, ternyata terpending jadi draft di blog, setelah dibaca dan sepertinya bagus, bolehlah kamu diposting. sekaligus menandai saya kembali ke dunia perblogspotan hihihi..

Assalamualaikum wr. wb

long time no post again.. uremmaniaa..
Sekian lama vakum dari blog ini akhirnya kembali menulis juga. saya butuh bercerita. akhirnya, ternyata blog inilah yang jadi pelarian.. hehe maafkan aku

Oktober 2015.
Kembali pada bulan penuh trauma yang sepertinya akan butuh waktu lama untuk kembali biasa saja dengan bulan oktober. rasanya baru kemarin saya menulis sambil menangis di awal-awal perjalanan kuliah. bagaimana haru selalu medatangi setiap kali mengingat lagi masa-masa yang tidak kelam tetapi menguras air mata. 

sekarang ? saya akhirnya sudah melewati wisuda diploma III. wisuda yang saya tunggu sejak hari pertama jadi mahasiswa. impian yang saya tulis besar-besar di salah satu lembaran buku catatan kuliah yang sampai sekarang masih terjaga meskipun sudah mulai usang. impian yang akhirnya terwujud dengan susah payah.

lantas ? saya baru mengerti tentang siklus sebuah perasaan yang dinamakan "impian". dia hanya sebuah kata tetapi kehadirannya di dalam hatimu akan membuat jiwa yang mati hidup kembali. dia yang akan membangunkanmu dari tidur panjang yang begitu sulit membuatmu bangun. dia yang akan seperti seorang teman yang siap menyeka air matamu ketika kau bersedih,. begitulah, impian kukenali dalam hidupku. 

impian begitu baik. sangat baik menemani jiwa-jiwa yang kesepian. tetapi ada satu hal yang tidak kusadari dalam berteman dengan impian. dia tumbuh egois tanpa bisa kau kendalikan. EGOIS. SANGAT EGOIS.

4 Tahun yang lalu, impianku hanya satu. lulus dari kampus dengan predikat cum laude tepat waktu. and then? itu terwujud. lantas apakah dia berhenti disitu? Jawabannya tidak. Impian yang menjadi kenyataan justru menjadi sebuah bahan bakar untuk tumbuh lebih egois. ingin lebih banyak, maju lebih depan dari apa yang sudah kucapai. aku tak mau hanya jadi lulusan diploma III. aku mau jadi Sarjana, aku mau jadi master kalo perlu aku mau jadi doktor. aku suka belajar dan aku menemukan tempat dimana aku merasa penting dan dibutuhkan orang-orang.

tapi, bagaimana dengan ayah ibu? apa impian mereka padaku sebenarnya?

dan aku bukan lagi gadis kecil yang dulu begitu keras pada impiannya sendiri. terkadang kulihat ibu dan ayahku dan abru tersadar mereka sudah mulai renta. rambut putih ayah yang dulu susah payah kudapatkan untuk dicabut karena disogok 500 perak per rambut putih kini sudah memenuhi kepalanya. mama yang dulu kuat tak terpatahkan sekarang mulai sering lelah, mulai tak seimbang diatas kakinya berdiri. dan aku? tidakkah rasanya egois jika hanya berfikir tentang impianku sendiri? 

haruskah kutuntaskan satu impian ini lalu menoleh pada impian orang tuaku sebenarnya? menikah? aku mau menikah, tapi belum bertemu seseorang yang membuatku yakin untuk melangkah, kecuali orang yang pernah dengan kekuatan cinta (ya ampun hahaha) kurajutkan syal agar bisa ia pakai ketika kelak ia berangkat ke jepang (aku mencintaina dengan caraku, dengan mendukung apa yang ia impikan, keren kan?) ah sudahlah, sepertinya dia bukan jodohku hehehe.. setelah menyerah tentang apa yang kurasakan padanya, kita malah ketemu jadi dosen dan mahasiswa di kelas yang akupun tak pernah membayangkan. hahaha..

jadi? sudahkah saatnya mula mengalah dan menjadi anak yang patuh?