Pembaca Budiman

Senin, 20 Februari 2012

Hujan di minggu ketiga february

Semester awalku di kampus sudah usai. Kuliah hingga finalku berjalan lancar. Bahkan,kegiatan organisasiku pun sudah terlaksana dengan sukses. Melegakan.
Tapi,seperti roda yang akan terus berputar hingga desahan nafas terakhir,pilihan datang lagi. Lagi dan lagi. Setelah semua baik, akan ada sesuatu yang menyedihkan, menjengkelkan,menjemukan,mengecewakan lalu kembali membahagiakan. Seperti itulah, selalu setiap hari.

Ini hari pertama liburanku. Sore yang mendung menanti hujan untuk melengkapinya. Sebuah dialog singkat terjadi antara aku dan mama, bukan, lebih tepatnya pernyataan singkat yang kembali mengaduk-aduk isi perutku dan menggelitik kelenjar air mataku.
Mama bertanya tentang semesterku. February minggu ketiga,
Ya,sebentar lagi aku semester 2.

Lagi.
Berhentilah di semester 3. Katanya 2 semester akan cukup memuaskanku untuk mengenyam status mahasiswa. “tidakkah kau ingin membantuku dalam bisnis ini? Tidakkah kau kasian melihat mama harus menjalankan dua bisnis bersamaan di waktu yg sama? Belum lagi terik yg tajam. Coba lihat teman-temanmu di sini,mereka bekerja. Menyenangkan orang tua mereka.”

Bagai petir yang menyambar sekalipun langit belum begitu gelap. Aku tak bisa bicara apapun. Tenggorokanku sudah lebih dulu tersedak dan jantungku berdetak tak karuan karena kelenjar air mataku betul-betul mengamuk. Tapi,lagi-lagi ini bukan saatnya. I must hold on. Hold on. I promise it to my self. To my brother.

Semester 3. Itu enam bulan lagi. Harus bagaimana membuktikan padamu mama? Aku bukan tak ingin membantu dan menjalankan bisnismu. Tapi itu bukan jalanku. Bukan aku.
Harus duduk diam di rumah mengelola itu semua mungkin begitu menyenangkan bagi orang lain. Tapi aku tidak. Aku lebih suka belajar. Aku suka harus menghafal rumus-rumus matematika, memecahkan soal-soal logika hingga akuntansi yg orang lain sebut rumit atau bertaut dengan computer berapapun lamanya. Itu aku.

Harus bagaimana mama? Harus bagaimana?

6 bulan.

Bila saatnya tiba dan kau masih tak bisa mengerti, mungkin aku harus menjelaskannya. Jika tetap tidak, maka aku akan memilih jalanku. Walaupun nuraniku pun akan bertarung antara menjadi anak yang berbakti seperti pesan almarhum kakak, atau mengejar mimpiku untuk membahagiakan mereka tapi dengan caraku.

“Mama, kalau saja bisa kau dengarkan ini. Semua kulakukan untukmu dan papa. Karena aku satu-satunya yang kalian miliki setelah kehilangan Haru dan Aini. Aku tak mau mengecewakan kalian. Aku belajar untuk jadi kebanggaan kalian. Aku juga miris saat harus melihat papa tetap harus berurusan dengan kayu berpuluh kilo atau melihatmu menahan kantuk dan lelah dalam bisnismu demi aku. Kalau bukan karena menyayangi dan ingin membanggakan kalian, aku tak akan susah-susah belajar di sekolah selama ini. Aku tak akan begadang hanya untuk mengerjakan tugas-tugas yang akupun kadang bosan. Aku tak akan berjuang jadi siswa berprestasi. Tapi aku melakukannya. Semua demi membuat kalian bisa membanggakanku di depan orang-orang.ku mohon mengertilah,mama. Bersabarlah sedikit lagi. Sebentar saja. Akan kuselesaikan kuliahku. Akan kubuktikan pengabdianku untukmu dan papa. Sebentar saja.”

6 bulan. Bertahanlah,Ade. Berjuanglah bagaimanapun caranya. Aku harus berjuang dan bertahan. Demi tujuanku. Demi janjiku pada dua almarhum kakakku. Demi pengabdianku sebagai seorang anak. Seperti langit yang masih menahan hujan walau akhirnya jatuh, aku juga harus bertahan walau ini perih.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar